Senin, 30 April 2012

Apa itu Shinto dan bagaimana bentuk ajarannya?


Shinto adalah agama kuno yang merupakan campuran dari animisme dan dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif yang percaya pada kekuatan benda, alam atau spirit. Kepercayaan tua semacam ini biasanya penuh dengan berbagai ritual dan perayaan yang biasanya berhubungan dengan musim, seperti musim panen, roh, spirit dll. Sejak awal sebenarnya secara natural manusia sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat dan di luar mereka ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan, kekaguman, ketakutan dan juga kerinduan pada Spirit atau “Kekuatan Besar” yang disebut dengan nama Kami atau Kami Sama itu diwujudkan dalam bentuk tarian, upacara, festival dll. Dari sinilah sepertinya agama Shinto berawal.

Layaknya suatu suatu kepercayaan yang berakar dari Animisme, umumnya tidak memiliki ajaran khusus yang harus dipelajari, demikian juga halnya dengan agama Shinto. Jadi agama ini sama sekali tidak memiliki buku khusus ataupun kitab suci yang harus dipelajari sehingga pelajaran ataupun ceramah agama dan sejenisnya tentu saja tidak ada. Disamping itu Shinto juga tidak mengenal istilah nabi yang berfungsi sebagai “founding father” karena dari awal agama ini muncul secara alami di masyarakat.

Jadi kalau saya coba memberikan rangkuman awal tentang agama Shinto, maka bisa ditulis sebagai berikut :
1. Tidak mengenal ajaran apapun
2. Tidak mengenal kitab suci
3. Tidak mengenal nabi, orang suci ataupun tokoh agama sebagai pemimpin dan penyebar agama
4. Tidak mengenal kiblat atau arah sembahyang
5. Tidak mengenal lambang sebagai identitas agama. Sebagian orang mungkin memakai Torii atau pintu gerbang sebagai icon Shinto. Icon tentu saja tidak sama dengan simbol dan disamping itu bangunan Torii ini juga dipakai pada beberapa kuil Buddha di Jepang

Sedangkan khusus tentang ajaran Shinto yang menyebutkan Kaisar sebagai Dewa Matahari sepertinya mulai muncul dan populer pada masa Periode Meiji (1868-1912) yang pada saat itu menjadikan Shinto sebagai agama resmi negara dan Kaisar sebagai “Living God” atau dewa yang hidup di dunia. Yang jelas tidak ada catatan tertulis pada buku atau kitab suci tentang hal tersebut.

Sinto adalah pemuja leluhur ?
Cukup banyak artikel yang menyebutkan Shinto sebagai agama yang menyembah leluhur. Pendapat yang kurang tepat tentu saja. Kuil Shinto sama sekali tidak berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk leluhur kecuali beberapa kuil tertentu yang termasuk kelompok Imperial Shinto seperti Yasukuni adalah perkecualiannya. Ritual dan upacara kematian hampir sebagian besar dilakukan dengan memakai tata cara agama Buddha dan hampir semua tempat pemakaman di Jepang adalah milik kuil Buddha.

Hubungan antara Buddha dan Shinto di Jepang cukup unik. Mereka seakan berbagi peran dan tugas. Untuk upacara yang bersifat “keduniawian” seperti peresmian gedung dan perusahaan baru, berdoa untuk lulus ujian, pernikahan dll kebanyakan orang akan menggunakan ritual Shinto sedangkan untuk upacara yang bersifat “akhirat”atau “Nirvana” mereka akan menggunakan ritual agama Buddha. Jadi apakah berarti antara Sinto dan Buddha adalah dua agama yang saling berhubungan dan bekerja sama di Jepang ? Tentu saja tidak. Shinto dan Buddha adalah dua agama yang jelas berbeda, namun bagi masyarakat umum, ritual kedua agama ini dilakukan nyaris tanpa dibedakan sama sekali atau dilakukan dengan bergantian.

Tidak mengenal ritual mengorbankan binatang
Upacara ritual dengan mengorbankan binatang sepertinya adalah umum ditemukan pada kepercayaan masyarakat lama. Sebagian kecil wilayah di Indonesia mungkin mengenal tradisi menanam kepala kerbau sebagai ritual untuk pembangunan atau peresmian banguanan baru.. Namun pada kepercayaan semacam ini sama sekali tidak dikenal dalam tradisi Shinto. Hal ini tentu saja cukup menarik karena bisa dikatakan sangat bertolak belakang dengan tradisi animisme umumnya.
Kuil tanpa agama

SHINTO ADALAH AGAMA ?
Dari sekilas uraian saya di atas sepertinya mungkin bagi sebagian pembaca sudah cukup untuk membuat kesimpulan kecil bahwa Shinto bukanlah suatu agama namun hanyalah suatu budaya atau kebiasaan saja. Apalagi kalau kita memakai kriteria umum yang dipakai untuk menggolongkan suatu kepercayaan bisa disebut sebagai agama yaitu memiliki nabi sebagai penerima wahyu serta memiliki kitab suci yang memuat ajaran ataupun petunjuk lengkap dari kepercayaan tersebut, jelas Shinto tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Hal ini juga sepertinya sudah disadari oleh orang Jepang dari awal yang bisa kita lihat dengan sangat jelas dari bahasa yang mereka pergunakan.
Dalam bahasa Jepang, dikenal kata Bukkyo yang artinya ajaran Buddha. Jadi kata Kyo yang artinya ajaran dipakai juga untuk ajaran lain seperti KirisutoKyo (ajaran Kristen), IsuramuKyo (ajaran Islam) dll, sedangkan kata Shinto sama sekali tidak ditambahkan dengan akhiran Kyo. Kata Kyo juga sekaligus berarti agama, sehingga sebutan agama Shinto sendiri sebetulnya kurang tepat, karena dalam bahasa Jepang sama sekali tidak tidak dikenal kata ShintoKyo ataupun ShinKyo.
Bahkan kata Shinto itu sendiripun hampir tidak pernah disebut ataupun digunakan dalam percakapan sehari hari. Sebutan ini yaitu “Agama Shinto” hanya umum digunakan oleh orang asing. Demikian juga dengan nama tempat ibadah Shinto yang disebut dengan Jinja dalam bahasa Jepang namun kalau diterjemahkan ke dalam bahasa asing akan menjadi Shinto Shrine (kuil Shinto). Nah bingung kan ! Bagi orang Jepang sendiri sepertinya tidaklah membingungkan. Mereka menjalankannya apa adanya tanpa pernah dipusingkan dengan istilah ataupun sebutan, agama atau kebiasaan, agama wahyu atau agama kuno.
Jadi atas dasar pemahaman sepertinya inilah yang menyebabkan hampir tidak ada orang Jepang yang mengaku beragama Shinto ketika ditanya tentang agama. Mereka umumnya akan menjawab dengan jawaban yang nyaris seragam yaitu tidak menganut agama apapun alias tidak beragama. Jadi sedikit janggal ketika istilah Agama Shinto malah populer di luar Jepang dan sampai sekarang pemahaman kebanyakan orang asing ataupun banyak buku yang menulis bahwa mayoritas orang Jepang adalah beragama Shinto sedangkan Shinto sama sekali tidak pernah dianggap sebagai agama oleh “umatnya”sendiri.. (Baca : Jepang, negara tanpa agama )

Shinto adalah pemuja alam ?
Sebagian orang sependapat unutk menyebutkan Shinto sebagai (agama) pemuja alam. Sebutan ini sepertinya yang paling tepat untuk dipakai menurut saya. Hal ini bisa dilihat dari tradisi Shinto yang memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada alam. Pohon besar misalnya tidak boleh sembarangan ditebang karena dipercaya ada Kami yang berdiam di dalamnya. Kebanyakan penduduk jaman dulu akan taat dan tidak merusak tempat alam atau bahkan kadang dengan jalan tidak memasuki hutan, gunung bahkan pulau tertentu karena dipercaya adanya Kami yang bersemayam di tempat tersebut.

Salah satu contoh kecil dari penghormatan yang tinggi kepada tumbuhan adalah pada saat makan yaitu hormat terhadap makanan khususnya beras. Sehingga hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Jepang yang pantang untuk menyisakan nasi bahkan dimakan sampai butir terakhir karena dianggap tidak menghormati Spirit yang hidup di dalamnya. (Kepercayaan Indonesia lama, khususnya di Jawa dan Bali juga mengenal ritual penghormatan untuk padi atau beras sebagai tempat bersemayam Dewi Sri atau Dewi Uma).
Dengan konsep kepercayaan yang sangat sederhana seperti ini bisa dibilang mereka cukup termasuk sukses menjaga kelestarian alamnya. Sekedar catatan tambahan, saat ini tempat yang bisa dihuni di Jepang hanyalah 30 % dari luas dataran yang ada, selebihnya, 70% masih berupa gunung dan bukit. Walaupun angka ini tidak menjelaskan secara langsung hubungan antara kedua variabel ini secara ilmiah, namun sepertinya menurut saya tidak lepas dari konsep ini. Kuil Shinto juga umumnya selalu dipenuhi dengan sejumlah pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun. Bukan pemandangan yang aneh di negara ini kalau seandainya suatu kali Anda akan melihat sebuah pohon besar yang tumbuh gagah tepat di tengah jalan serta sebuah kuil kecil didekatnya yang berdiri entah sejak kapan, tanpa ada yang berani atau berniat menggusurnya.

Di beberapa kuil seperti Sumiyoshi Taisha di Osaka contohnya, memiliki tradisi upacara tanam padi pada setiap bulan July dan tradisi yang sudah berumur sangat tua ini masih dilestarikan hingga kini walaupun masyarakat disekitar kuil sebagian besar sudah tidak masih berprofesi sebagai petani. Untuk menjaga agar tradisi ini tetap lestari, beberapa petak sawah masih tetap dipertahankan. Ini adalah salah satu konsep perlindungan alam atau sawah yang unik. Di beberapa daerah lain, upacara semacam ini juga bisa ditemukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar