Shinto adalah agama kuno yang merupakan campuran dari animisme dan
dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif yang percaya pada kekuatan
benda, alam atau spirit. Kepercayaan tua semacam ini biasanya penuh
dengan berbagai ritual dan perayaan yang biasanya berhubungan dengan
musim, seperti musim panen, roh, spirit dll. Sejak awal sebenarnya
secara natural manusia sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat
dan di luar mereka ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung
ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan mereka
sehari-hari. Pengakuan, kekaguman, ketakutan dan juga kerinduan pada
Spirit atau “Kekuatan Besar” yang disebut dengan nama Kami atau Kami
Sama itu diwujudkan dalam bentuk tarian, upacara, festival dll. Dari
sinilah sepertinya agama Shinto berawal.
Layaknya suatu suatu kepercayaan yang berakar dari Animisme, umumnya
tidak memiliki ajaran khusus yang harus dipelajari, demikian juga halnya
dengan agama Shinto. Jadi agama ini sama sekali tidak memiliki buku
khusus ataupun kitab suci yang harus dipelajari sehingga pelajaran
ataupun ceramah agama dan sejenisnya tentu saja tidak ada. Disamping itu
Shinto juga tidak mengenal istilah nabi yang berfungsi sebagai
“founding father” karena dari awal agama ini muncul secara alami di
masyarakat.
Jadi kalau saya coba memberikan rangkuman awal tentang agama Shinto, maka bisa ditulis sebagai berikut :
1. Tidak mengenal ajaran apapun
2. Tidak mengenal kitab suci
3. Tidak mengenal nabi, orang suci ataupun tokoh agama sebagai pemimpin dan penyebar agama
4. Tidak mengenal kiblat atau arah sembahyang
5. Tidak mengenal lambang sebagai identitas agama. Sebagian orang mungkin memakai Torii atau pintu gerbang sebagai icon Shinto. Icon tentu saja tidak sama dengan simbol dan disamping itu bangunan Torii ini juga dipakai pada beberapa kuil Buddha di Jepang
2. Tidak mengenal kitab suci
3. Tidak mengenal nabi, orang suci ataupun tokoh agama sebagai pemimpin dan penyebar agama
4. Tidak mengenal kiblat atau arah sembahyang
5. Tidak mengenal lambang sebagai identitas agama. Sebagian orang mungkin memakai Torii atau pintu gerbang sebagai icon Shinto. Icon tentu saja tidak sama dengan simbol dan disamping itu bangunan Torii ini juga dipakai pada beberapa kuil Buddha di Jepang
Sedangkan khusus tentang ajaran Shinto yang menyebutkan Kaisar
sebagai Dewa Matahari sepertinya mulai muncul dan populer pada masa
Periode Meiji (1868-1912) yang pada saat itu menjadikan Shinto sebagai
agama resmi negara dan Kaisar sebagai “Living God” atau dewa yang hidup
di dunia. Yang jelas tidak ada catatan tertulis pada buku atau kitab
suci tentang hal tersebut.
Sinto adalah pemuja leluhur ?
Cukup banyak artikel yang menyebutkan Shinto sebagai agama yang
menyembah leluhur. Pendapat yang kurang tepat tentu saja. Kuil Shinto
sama sekali tidak berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk leluhur
kecuali beberapa kuil tertentu yang termasuk kelompok Imperial Shinto
seperti Yasukuni adalah perkecualiannya. Ritual dan upacara kematian
hampir sebagian besar dilakukan dengan memakai tata cara agama Buddha
dan hampir semua tempat pemakaman di Jepang adalah milik kuil Buddha.
Hubungan antara Buddha dan Shinto di Jepang cukup unik. Mereka seakan
berbagi peran dan tugas. Untuk upacara yang bersifat “keduniawian”
seperti peresmian gedung dan perusahaan baru, berdoa untuk lulus ujian,
pernikahan dll kebanyakan orang akan menggunakan ritual Shinto sedangkan
untuk upacara yang bersifat “akhirat”atau “Nirvana” mereka akan
menggunakan ritual agama Buddha. Jadi apakah berarti antara Sinto dan
Buddha adalah dua agama yang saling berhubungan dan bekerja sama di
Jepang ? Tentu saja tidak. Shinto dan Buddha adalah dua agama yang jelas
berbeda, namun bagi masyarakat umum, ritual kedua agama ini dilakukan
nyaris tanpa dibedakan sama sekali atau dilakukan dengan bergantian.
Tidak mengenal ritual mengorbankan binatang
Upacara ritual dengan mengorbankan binatang sepertinya adalah umum
ditemukan pada kepercayaan masyarakat lama. Sebagian kecil wilayah di
Indonesia mungkin mengenal tradisi menanam kepala kerbau sebagai ritual
untuk pembangunan atau peresmian banguanan baru.. Namun pada kepercayaan
semacam ini sama sekali tidak dikenal dalam tradisi Shinto. Hal ini
tentu saja cukup menarik karena bisa dikatakan sangat bertolak belakang
dengan tradisi animisme umumnya.
Kuil tanpa agama
SHINTO ADALAH AGAMA ?
Dari sekilas uraian saya di atas sepertinya mungkin bagi sebagian
pembaca sudah cukup untuk membuat kesimpulan kecil bahwa Shinto bukanlah
suatu agama namun hanyalah suatu budaya atau kebiasaan saja. Apalagi
kalau kita memakai kriteria umum yang dipakai untuk menggolongkan suatu
kepercayaan bisa disebut sebagai agama yaitu memiliki nabi sebagai
penerima wahyu serta memiliki kitab suci yang memuat ajaran ataupun
petunjuk lengkap dari kepercayaan tersebut, jelas Shinto tidak memenuhi
syarat untuk disebut sebagai agama. Hal ini juga sepertinya sudah
disadari oleh orang Jepang dari awal yang bisa kita lihat dengan sangat
jelas dari bahasa yang mereka pergunakan.
Dalam bahasa Jepang, dikenal kata Bukkyo yang artinya ajaran Buddha.
Jadi kata Kyo yang artinya ajaran dipakai juga untuk ajaran lain seperti
KirisutoKyo (ajaran Kristen), IsuramuKyo (ajaran Islam) dll, sedangkan
kata Shinto sama sekali tidak ditambahkan dengan akhiran Kyo. Kata Kyo
juga sekaligus berarti agama, sehingga sebutan agama Shinto sendiri
sebetulnya kurang tepat, karena dalam bahasa Jepang sama sekali tidak
tidak dikenal kata ShintoKyo ataupun ShinKyo.
Bahkan kata Shinto itu sendiripun hampir tidak pernah disebut ataupun
digunakan dalam percakapan sehari hari. Sebutan ini yaitu “Agama
Shinto” hanya umum digunakan oleh orang asing. Demikian juga dengan nama
tempat ibadah Shinto yang disebut dengan Jinja dalam bahasa Jepang
namun kalau diterjemahkan ke dalam bahasa asing akan menjadi Shinto
Shrine (kuil Shinto). Nah bingung kan ! Bagi orang Jepang sendiri
sepertinya tidaklah membingungkan. Mereka menjalankannya apa adanya
tanpa pernah dipusingkan dengan istilah ataupun sebutan, agama atau
kebiasaan, agama wahyu atau agama kuno.
Jadi atas dasar pemahaman sepertinya inilah yang menyebabkan hampir
tidak ada orang Jepang yang mengaku beragama Shinto ketika ditanya
tentang agama. Mereka umumnya akan menjawab dengan jawaban yang nyaris
seragam yaitu tidak menganut agama apapun alias tidak beragama. Jadi
sedikit janggal ketika istilah Agama Shinto malah populer di luar Jepang
dan sampai sekarang pemahaman kebanyakan orang asing ataupun banyak
buku yang menulis bahwa mayoritas orang Jepang adalah beragama Shinto
sedangkan Shinto sama sekali tidak pernah dianggap sebagai agama oleh
“umatnya”sendiri.. (Baca : Jepang, negara tanpa agama )
Shinto adalah pemuja alam ?
Sebagian orang sependapat unutk menyebutkan Shinto sebagai (agama)
pemuja alam. Sebutan ini sepertinya yang paling tepat untuk dipakai
menurut saya. Hal ini bisa dilihat dari tradisi Shinto yang memberikan
penghormatan yang sangat tinggi kepada alam. Pohon besar misalnya tidak
boleh sembarangan ditebang karena dipercaya ada Kami yang berdiam di
dalamnya. Kebanyakan penduduk jaman dulu akan taat dan tidak merusak
tempat alam atau bahkan kadang dengan jalan tidak memasuki hutan, gunung
bahkan pulau tertentu karena dipercaya adanya Kami yang bersemayam di
tempat tersebut.
Salah satu contoh kecil dari penghormatan yang tinggi kepada tumbuhan
adalah pada saat makan yaitu hormat terhadap makanan khususnya beras.
Sehingga hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Jepang yang
pantang untuk menyisakan nasi bahkan dimakan sampai butir terakhir
karena dianggap tidak menghormati Spirit yang hidup di dalamnya.
(Kepercayaan Indonesia lama, khususnya di Jawa dan Bali juga mengenal
ritual penghormatan untuk padi atau beras sebagai tempat bersemayam Dewi
Sri atau Dewi Uma).
Dengan konsep kepercayaan yang sangat sederhana seperti ini bisa
dibilang mereka cukup termasuk sukses menjaga kelestarian alamnya.
Sekedar catatan tambahan, saat ini tempat yang bisa dihuni di Jepang
hanyalah 30 % dari luas dataran yang ada, selebihnya, 70% masih berupa
gunung dan bukit. Walaupun angka ini tidak menjelaskan secara langsung
hubungan antara kedua variabel ini secara ilmiah, namun sepertinya
menurut saya tidak lepas dari konsep ini. Kuil Shinto juga umumnya
selalu dipenuhi dengan sejumlah pohon besar yang sudah berumur ratusan
tahun. Bukan pemandangan yang aneh di negara ini kalau seandainya suatu
kali Anda akan melihat sebuah pohon besar yang tumbuh gagah tepat di
tengah jalan serta sebuah kuil kecil didekatnya yang berdiri entah sejak
kapan, tanpa ada yang berani atau berniat menggusurnya.
Di beberapa kuil seperti Sumiyoshi Taisha di Osaka contohnya,
memiliki tradisi upacara tanam padi pada setiap bulan July dan tradisi
yang sudah berumur sangat tua ini masih dilestarikan hingga kini
walaupun masyarakat disekitar kuil sebagian besar sudah tidak masih
berprofesi sebagai petani. Untuk menjaga agar tradisi ini tetap lestari,
beberapa petak sawah masih tetap dipertahankan. Ini adalah salah satu
konsep perlindungan alam atau sawah yang unik. Di beberapa daerah lain,
upacara semacam ini juga bisa ditemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar